05 September 2024

Sportivitas dalam Persaingan Bisnis, Apakah Diperlukan?

Article Cover

Paolo Di Canio, salah satu pesepakbola kontroversial asal Italia, memperoleh penghargaan bergengsi yang bertitel FIFA’s Fair Play Award 2001. Pemain yang terkenal bengal ini memperoleh apresiasi atas tindakannya yang disebut sebagai The Act of Good Sportmanship. Padahal, beberapa tahun sebelumnya, Paolo Di Canio lebih sering diganjar kartu kuning, merah, hingga suspensi atas tindakan kerasnya di lapangan hijau. Namun, penghargaan ini memberi makna mendalam bagi dunia sepakbola, yaitu masih adanya sportivitas.

Penghargaan ini diperoleh karena Di Canio membatalkan eksekusi tendangan voli yang dia rencanakan untuk lakukan setelah menerima umpan silang ciamik dari Trevor Sinclair. Sekelebat sebelum mempersiapkan tendangan volinya, dalam posisinya yang tidak terkawal di kotak penalti, Di Canio melihat sosok Paul Gerarrd, sang kiper lawan masih meringkuk di sebelah gawang karena mengalami cedera sesaat menyapu bola sebelumnya. Seketika, tendangan voli yang seharusnya dapat membuahkan gol, dia batalkan dengan menangkap bola umpan silang tersebut, kemudian menunjuk sosok kiper yang masih tergeletak. Pertandingan kemudian dihentikan karena Di Canio terkena handball akibat menangkap bola yang seharusnya dia eksekusi. Alih-alih diteriaki kawannya, segenap pemain kawan dan lawan serta penonton memberikan tepuk tangan hormat atas aksinya itu. Walaupun skor pertandingan menjadi imbang, tindakan sportif Di Canio selalu dikenang.

Aksi Di Canio sangat berisiko namun terpuji. Tindakannya membuahkan penghargaan yang lebih bergengsi dari sekadar pencetak gol terbanyak liga. Namun, jika situasi ini dikondisikan dalam pertandingan bisnis antar para pengusaha dalam kompetisi yang tidak berujung, apakah sportivitas akan tetap dijunjung?

Situasi menguntungkan yang diperoleh Di Canio akibat lawan yang terkapar karena ultahnya sendiri sebenarnya serupa ketika dalam persaingan bisnis, terdapat perusahaan yang kemudian gulung tikar akibat perbuatannya sendiri. Dalam lubuk hati terdalam, mungkin saja rasa syukur dipanjatkan oleh pesaing dari pengusaha yang bangkrut itu dengan mengatakan “pesaingku berkurang satu”, atau “keuntunganku akan semakin banyak karena konsumen mereka akan kurebut”, dan lainnya. Pertanyaannya, apakah sikap seperti itu dalam dunia bisnis dapat dibilang tidak sportif? atau sebenarnya memang tidak perlu sportif kalau menyangkut urusan bisnis.

Sportivitas sendiri merupakan istilah sederhana untuk menggambarkan rasa hormat seseorang terhadap aturan, lawan, etika, hingga konvensi yang ada di tatanan masyarakat. Sportivitas biasanya masuk dalam ranah etis nilai keolahragawanan yang harus dimiliki oleh seorang atlet bahkan diprioritaskan sebelum rasa lapar akan kemenangan. Kemenangan dengan tidak sportif tentunya akan menghadirkan rasa tidak lega yang paripurna. Menang, namun seakan tidak bisa untuk dirayakan.

Namun, pada dunia bisnis yang lebih kejam, apakah rasa hormat tetap perlu dijunjung? Jawabannya pasti Ya!. Sportivitas perlu menjadi nilai penting dalam membangun daya saing bisnis di pasar yang semakin dinamis dan kompleks. Lalu bagaimana penerapannya dalam keseharian bisnis?

Secara sederhana, beberapa hal ini dapat dilakukan oleh pengusaha agar dapat masuk dalam kawanan pengusaha sportif. Hal pertama yang harus dilakukan adalah membangun respek terhadap konsumen. Respek terhadap konsumen adalah upaya penting untuk menjadikan konsumen sebagai mitra bukan sebagai mangsa. Konsumen bukanlah sapi perah, namun adalah pemangku kepentingan utama yang berperan penting menjaga keberlanjutan usaha kita. Oleh karena itu, penerapan pemasaran dan penjualan berbasis nilai sangat relevan terhadap sportivitas dalam usaha. Konsumen selalu diupayakan untuk dilayani dengan optimal sesuai dengan nilai yang mereka persepsikan.

Kedua, digitalisasi membuat dunia bisnis semakin datar dan membuat pasar lebih terfragmentasi. Segmen pesaing kini sangat beragam dan tidak lagi harus pada segmen kebutuhan yang sama. Oleh karena itu, fokus dalam keberlanjutan usaha bukanlah dengan cara memata-matai pesaing, menjiplak hasil karya mereka, atau membuat kampanye hitam atas produk mereka, melainkan, usaha kita dapat fokus pada nilai-nilai yang diharapkan pembeli sehingga tidak perlu memikirkan pesaing dengan sedemikian rupa.

Terakhir, turunkanlah nilai sportivitas ini kepada tim di dalam organisasi. Nilai ini harus ada di semua lini dengan upaya yang serupa untuk mewujudkannya. Semangat untuk berbudaya positif, tidak menjelekkan orang lain, tidak mencari kambing hitam, dan fokus pada pelayanan merupakan nilai prima pondasi sportivitas bisnis. Setidaknya, saat perusahaan mencoba untuk mewujudkannya, tujuannya bukanlah untuk mencari penghargaan bisnis paling sportif tahun ini, namun melainkan fokusnya adalah untuk memberi layanan produk terbaik kepada konsumen dengan penerapan etika bisnis yang paripurna. (MSK)

 

 

Share this article :